Kamis, 22 April 2010

27
BAB VI
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

1. Syarat bagi tanggung jawab moral

Ada tiga syarat penting bagi tanggung jawab moral, yaitu :
a. Pertama, tanggung jawab mengandaikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan
sadar dan tahu. Tanggung jawab hanya bisa dituntut dari seseorang kalau ia
bertindak dengan sadar dan tahu mengenai tindakannya itu serta konsekuensi dari
tindakannya. Hanya kalau seseorang bertindak dengan sadar dan tahu, baru
relevan bagi kita untuk menuntut tanggung jawab dan pertanggung jawaban
moral atas tindakanny a itu.
b. Kedua, tanggung jawab juga mengandaikan adaya kebebasan pada tempat
pertama. Artinya, tanggung jawab hanya mungkin relevan dan dituntut dari
seseorang atas tindakannya, kalau tindakannya itu dilakukan secara bebas. Orang
yang melakukan tindakan itu secara bebas dan suka rela melakukan tindakan itu.
Jadi, kalau seseorang terpaksa atau dipaksa melakukan suatu tindakan, secara
moral ia tidak bisa dituntut bertanggungjawab atas tindakan itu.
c. Ketiga, tanggung jawab juga mensyaratkan bahwa orang yang melakukan
tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Ia sendiri mau dan
bersedia melakukan tindakan itu. Syarat ini terutama relevan dalam kaitan dengan
syarat kedua diatas. Bila seseorang berada dalam situasi tertetu sedemikian rupa
seakan-akan ia terpaksa melakukan suatu tindakan, dimana hanya ada satu pilihan
atau alternatif dan terlihat seakan-akan dia hanya bisa memilih alternatif itu.
Bahkan dia tidak bisa tidak memilih alternatif tersebut. Seakan-akan orang ini
memang terpaksa. Menurut syarat kedua, dia tidak bisa bertanggung jawab atas
pilihannya karena tidak bisa lain Karenanya, tidak relevan untuk menuntut
pertanggungjawaban dari orang ini.

Namun ia masih tetap bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas
tindakannya itu, jika ia sendiri mau (apalagi dengan sadar dan bebas) memilih
alternatif yang hanya satu itu dan tidak bisa dielakkan itu.
Sehubungan dengan tanggung jawab moral, berlaku prinsip yang disebut the
principle of alternate possibilities. Menurut prinsip ini, seseorang bertanggung
jawab secara moral atas tindakan yang telah dilakukannya hanya kalau ia bisa
bertindak secara lain. Artinya, hanya kalau masih ada alternatif baginya untuk
bertindak secara cara lain, yang tidak lain ia tidak dalam keadaan terpaksa
melakukan tindakan itu.
Menurut Harry Frankfurt, prinsip ini tidak sepenuhnya benar. Sebab,
seseorang masih bisa tetap bertanggung jawab atas tindakannya kalaupun ia tidak
punya kemungkinan lain untuk bertindak secara lain.


Prinsip yang benar baginya bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara
moral atas tindakan yang telah dilakukannya kalau ia melakukannya hanya karena
ia tidak bisa bertindak secara lain. Dan tidak ada alasan lain selain terpaksa.

Kesimpulannya, bahwa hanya orang yang berakal budi dan punya kemauan bebas
yang bisa bertanggung jawab atas tindakannya, dan karena itu relevan untuk
menuntut pertanggungjawaban moral darinya. Atau hanya orang yang telah
menggunakan akal budinya secara normal dan punya kemauan bebas yang
sepenuhnya bearada dalam kendalinya dapat bertangungjawab secara moral atas
tindakannya.




ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




28
2. Status Perusahaan
Perusahaan adalah sebuah badan hukum. Artinya, perusahaan dibentuk
berdasarkan hukum tertentu dan disahkan dengan hukum atau aturan legal tertentu.
Karenanya, keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertetu. Yang berarti
perusahaan adalah bentukan manusia, yang eksistensinya diikat berdasarkan aturan
hukum yang sah.
Sebagai badan hukum, perusahaan mempunyai hak-hak legal tertentu
sebagaimana dimiliki oleh manusia. Misalnya, hak milik, hak paten, hak atas merek
tertentu, dan sebagainya. Sejalan dengan itu, perusahaan juga mempunyai kewajiban
legal untuk menghormati hak legal perusahaan lain, tidak boleh merampas hak
perusahaan lain.
De George secara khusus membedakan dua macam pandangan mengenai status
perusahaan :
• Legal creator , yang melihat perusahaan sebagai sepenuhnya ciptaa hukum,
dan karena itu ada hanya berdasarkan hukum. Perusahaan diciptakan oleh
negara dan tidak mungkin ada tanpa negara. Negara dan hukum sendiri adalah
ciptaan masyarak at, maka perusahaan juga dalah ciptaan masyarakat.
Perusahaan diciptakan oleh masyarakat demi kepentingan masyarakat. Maka,
kalau perusahaan tidak lagi berguna bagi masyarakat, masyarakat bisa saja
mengubah atau meniadakannya.
• Legal recognition, yang tidak memusatkan perhatian pada status legal
perusahaan melainkan pada perusahaan sebagai suatu usaha bebas dan
produktif. Menurut pandangan ini, perusahaan terbentuk oleh orang atau
kelompok orang tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu dengan cara
tertentu secara bebas demi kepentingan orang atau orang-orang tadi.
Perusahaan tidak dibentuk oleh negara, melainkan negara hanya
mendaftarkan, mengakui, dan mensahkan perusahaan itu berdasarkan hukum
tertentu. Ini juga menunjukkan bahwa perusahaan bukan organisasi bentukan
masyarakat.

Menurut pandangan kedua, perusahaan bukan bentukan negara atau
masyarakat, maka perusahaan menetapkan sendiri tujuannya dan beroperasi
sedemikian rupa untuk mencapai tujuannya itu.

Karena perusahaan dibentuk untuk mencapai kepentingan para pendirinya,
maka dalam aktivitasnya perusahaan memang melayani masyarakat, tapi
bukan itu tujuan utamanya. Pelayanan masyarakat hanyalah sarana untuk
mencapai tujuannya : mencari keuntungan.

Berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan diatas, dapat
disimpulkan bahwa perusahaan memang punya tanggung jawab, tetapi hanya
terbatas pada tanggung jawab legal, yaitu tanggung jawab memenuhi aturan
hukum yang ada. Karena perusahaan memang dibangun atas dasar hukum
untuk kepentingan pendiri dan bukan untuk pertama-tama melayani
masyarakat.

Juga berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan diatas, jelas
bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial, hal ini
dikarenakan :
Perusahaan bukanlah moral person yang punya akal budi dan
kemauan bebas dalam bertindak.
Dalam kaitan dengan legal recognition, perusahaan dibangun oleh
orang atau kelompok orang tertentu untuk kepentingannya dan bukan
untuuk melayani masyarakat. Karenanya itu, secara mendasar
perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial.

Dalam kerangka pemikiran bahwa tanggung jawab hanya bisa dituntut dari
pelaku yang tahu, bebas dan mau, Milton Friedman dengan tegas mengatakan
bahwa hanya manusia yang mempunyai tanggung jawab (moral).
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




29
Namun lebih dari itu, tidak sepenuhnya benar kalau dikatakan bahwa
perusahaan hanyalah badan hukum dan bukan pribadi moral, karena
perusahaan terdiri dari manusia. Bukanlah sebuah benda mati, bukan pula
binatang aneh, melainkan lembaga atau organisasi manusia yang kegiatannya
direncanakan, diputuskan, dan dijalankan oleh manusia. Karenanya, dalam
berbicara mengenai perusahaan dan aktivitasnya, yang terbayangkan adalah
manusia dengan aktivitasnya. Ada sekelompok orang-orang y ang dianggap
sebagai tokoh kunci yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala
kegiatan suatu perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan
benar dari segala aspek : bisnis, keuntungan (jangka pendek dan jangka
panjang.

Dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa dipisahkan dari tanggung
jawab moral. Karenanya, bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab legal,
menyiratkan bahwa dengan demikian perusahaanpun punya tanggung jawab
moral karena tanggung jawab legal hanya mungkin dijalankan secara serius
kalau ada sikap moral untuk bertanggung jawab. Tanpa sikap moral, berupa
kesediaan untuk menerima tanggung jawab itu, tanggung jawab legal tidak
punya makna apapun.

Pada tingkat operasional, tanggung jawab sosial dan moral ini diwakili secara
formal oleh staf manajemen.

Karena seluruh keputusan dan kegiatan bisnis perusahaan ada ditangan para
manajer, maka pada tempatnya tanggung jawab sosial dan moral perusahaan
juga dipikul mereka. Hal ini dikarenakan mereka telah menerima kepercayaan
untuk menjalankan perusahaan itu, maka mereka jugalah yang memikul
tanggung jawab sosial dan moral perusahaan itu. Juga seluruh karyawan,
dengan satu dan lain cara, dengan tingkat dan kadar yang beragam, memikul
tanggung jawab social dan moral atas nama perusahaan mereka. Melalui
karyawan-karyawan inilah tanggung jawab social dan moral perusahaan
menemukan bentuk dan manifestasinya yang paling konkret dan transparan.
Melalui tanggungjawab moral dan sosial para karyawan dalam kegiatan
bisnisnya, bisa dilihat besar kecilnya, serius atau tidaknya tanggung jawab
moral dan social suatu perusahaan.


3. Lingkup Tanggung Jawab Sosial
Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukkan kepedulian perusahaan
terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara lebih luas daripada sekedar
terhadap kepentingan perusahaan semata. Dengan konsep ini meskipun
perusahaan mau dikatakan secara moral adalah mengejar keuntungan, tidak
dengan sendirinya perusahaan dibenarkan untuk mencapai keuntungan itu
dengan mengorbankan kepentingan pihak-pihak lain, termasuk masyarakat
luas.

Secara negatif itu berarti suatu perusahaan harus menjalankan kegiatan
bisnisnya sedemikian rupa sehingga tidak sampai merugikan pihak-pihak
tertentu dalam masyarakat. Dan secara positif itu berarti suatu perusahaan
harus menjalankan kegiatan bisnisnya sedemikian rupa sehingga pada akhirnya
akan dapat ikut menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera.
Bahkan perusahaan diharapkan untuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang
tidak semata-mata didasarkan pada perhitungan keuntungan kontan yang
langsung, melainkan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.



ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




30
Dalam perkembangan etika bisnis yang modern, muncul gagasan yang lebih
komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini.

• Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang
berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Perusahaan diharapkan
untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan
untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan disini
terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang
berguna bagi masyarakat. Perusahaan juga memikirkan kebaikan,
kemajuan, dan kesejahteraan masyarakat, dengan ikut malakukan
berbagai kegiatan sosial.


Seperti menyumbangkan dana untuk membangun rumah ibadah,
membangun prasarana dan fasilitas sosial dalam masyarakat (listrik, air,
jalan, tempat rekreasi, dan sebagainya), melakukan penghijauan,
menjaga sungai dari pencemaran, pelatihan Cuma-Cuma bagi pemuda
yang tinggal disekitar perusahaan, memberi beasiswa kepada anak dari
keluarga yang kurang mampu ekonominya, dan sebagainya.
Ada beberapa alasan yang manjadi dasar bagai keterlibatan
perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial tersebut, yaitu :
- Karena perusahaan dan seluruh karyawannya adalah
bagian integral dari masyarakat setempat. Karenanya
wajar bila perusahaan ikut bertanggungjawab atas
kemajuan dan kebaikan masyarakat tersebut.
- Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak
untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam
masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan
bagi perusahaan tersebut. Sampai tingkat tertentu,
masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga
profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa
mengembangkan perusahaan tersebut. Keterlibatan ini
semacam balas jasa terhadap masyarakat.
- Dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai
kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen
moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan
bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan
masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan
sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya
tanggung jawab, terhadap masyarakat dan dengan
demikian akan mencagahnya untuk tidak sampoai
merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.
- Dengan keterlibatan social, perusahaan tersebut
menjalin hubungan social yang lebih baik dengan
masyarakat dan dengan demikian perusahaan akan
diterima kehadirannya dalam masyarakat tersebut. Ini
akan membuat masyarakat merasa memiliki perusahaan
tersebut, dan dapat menciptakan iklim social dan politik
yang lebih aman, kondusif, dan menguntungkan bagi
kegiatan bisnis perusahaan tersebut.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




31
• Kedua, keuntungan ekonomis.
Berhasil tidaknya suatu perusahaan, secara ekonomis dan moral,
menurut Milton Friedman, dinilai berdasarkan lingkup tanggung jawab
sosial ini.
Keuntungan ekonomi dilihat sebagai sebuah lingkup tanggung jawab
moral dan social untuk mengejar keuntungan ekonomi karena dengan
itu perusahaan dapat dipertahankan dan juga hanya dengan itu semua
karyawan dan semua pihak lain yang terkait bisa dipenuhi hak dan
kepentingannya.

• Ketiga, lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak kalah
pentingnya adalah memenuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu
masyarakat, baik yang menyangkut kegiatan bisnis maupun yang
menyangkut kehidupan social pada umumnya. Ini merupakan salah satu
lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yang semakin dirasakan
penting.

• Keempat, hormat pada hak dan kepentingan stakeholders atau pihak-
pihak terkait yang punya kepentingan langsung atau tidak langsung
dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan. Ini suatu lingkup tanggung
jawab yang semakin mendapat perhatian tidak hanya di kalangan
praktisi bisnis melainkan juga para ahli etika bisnis.

Suatu perusahaan yang dikatakan punya tanggung jawab moral dan sosial,
berarti perusahaan tersebut secara moral dituntut dan menuntut diri untuk
bertanggung jawab atas hak dan kepentingan pihak-pihak terkait. Seperti
konsumen, buruh, investor, kreditor, pemasok, penyalur, masyarakat
setempat, pemerintah dan sebagainya. Tanggung jawab sosial perusahaan
lalu menjadi hal yang begitu konkret, baik demi terciptanya suatu
kehidupan sosial yang baik maupun demi k elangsungan dan keberhasilan
kegiatan bisnis perusahaan tersebut.


4. Argumen Yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial
Perusahaan

Dibawah ini terdapat beberapa argumen yang menentang perlunya
keterlibatan sosial perusahaan.
..
.

Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan
Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan
sebesar
sebesar-
-besarnya
sebesar
sebesar
-
besarnya
besarnya
besarnya .
.

.
.

Argumen paling keras yang menentang keterlibatan perusahaan dalam
berbagai kegiata social sebagai wujud tanggung jawab social perusahaan adalah
faham dasar bahwa tujuan utama bahkan satu-satunya dari kegiatan bisnis
adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Milton Friedman adalah
penentang utama tanggung jawab social perusahaan dalam wujud keterlibatan
sosial ini.
Yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah bagaimana
mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya seefisien mungkin. Ini berarti
sumber daya yang ada harus dipakai sehemat mungkin dan seefisien mungkin
untuk memperoleh keuntungan sebesar mungkin.

Maka, konsep mengenai keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan social
harus ditentang karena justru akan menimbulkan ketidakefisienan. Sehingga
berarti tanggung jawab sosial dalam bentuk keterlibatan social adalah hal yang
tidak relevan dengan kegiatan dan hakikat bisnis itu sendiri.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010
21
BAB V
ETIKA UTILITARIANISME

Pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748 - 1832).
Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu
kebijaksanaan sosial politik, ekonomi dan legal secara moral.
Singkatnya, bagaimana menilai sebuah kebijaksanaan publik, yaitu kebijaksanaan
yang punya dampak bagi kepentingan banyak orang, secara moral. Bentham kemudian
menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu
kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau
sebaliknya kerugian bagi orang-orang terkait. Sehingga mereka tidak mendasarkan
penilaian mereka mengenai baik atau buruknya suatu kebijaksanaan berdasarkan apakah
kebijaksanaan atau tindakan itu sesuai atau tidak sesuai dengan nilai atau norma moral
tertentu, melainkan pada akibat, pada konsekuensi atau pada tujuan yang ingin dicapai
oleh kebijaksanaan atau tindakan itu.


1. Kriteria dan Prinsip Etika Utilitarianisme

Dalam kerangka etika utilitarianisme dapat dirumuskan 3 kriteria objektif sekaligus
norma untuk menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan.
- Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu nahwa kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Jadi, kebijaksanaan atau
tindakan yang baik adalah yang menghasilkan hal yang baik. Sebaliknya,
kebijaksaaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan
kerugian tertentu.
- Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahea kebijaksanaan atau
tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih
besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan alternatif lainnya.
Kalau yang dipertimbangkan adalah soal akibat baik dan akibat buruk dari
suatu kebijaksanaan atau tindaka, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan
dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat
dibandingkan dengan kerugian. Atau dalam situasi tertentu ketika kerugian
tidak bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk bila dibandingkan dengan
kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif).
- Kriteria ketiga berupa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Jadi,
suatu kebijaksaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau tidak hanya
mendatangkan manfaat terbesar, melainkan kalau mendatangkan manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Sebaliknya, kalau ternyata suatu
kebijaksanaan atau tindakan tidak bisa mengelak dari kerugian, maka
kebijaksanaan atau tindakan itu dinilai baik kalau membawa kerugian yang
sekecil mungkin bagi sesedikit mungkin orang.

Kriteria yang sekaligus menjadi pegangan objektif etik utilitarianisme adalah manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Atau suatu kebijaksanaan atau tindaka yang baik dan tepat dari segi etis menurut etik
utilitarianisme adalah kebijaksanaan atau tindaka yang membawa manfaat terbesar
bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang
terkecil mungkin bagi sesedikit mungkin orang.

Karenanya etika utilitarianisme mengajukan tiga pegangan, yaitu :
- Suatu kebijaksanaan atau tindakan adalah baik dan tepat secara moral jika dan
hanya jika kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau
keuntungan. Yang berarti tindakan yang membawa manfaat atau keuntungan
tertentu adalah tindakan yang tepat dan baik secara moral. Sebaliknya,
tindakan yang merugikan adalah tindakan yang tidak tepat tidak baik secara
moral.
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




22
- Diantara berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang sama baiknya,
kebijaksanaan atau tindakan yang mempunyai manfaat terbesar adalah
tindakan yang paling baik. Atau sebaliknya, diantara kebijaksanaan atau
tindakan yang sama-sama merugikan, kebijaksanaan atau tindakan yang baik
dari segi moral adalah yang mendatangkan kerugian lebih kecil atau terkecil.
- Diantara kebijaksanaan atau tindakan y ang sama-sama mendatangkan manfaat
terbesar, kebijaksanaan atau tindakan yang mendatangkan manfaat terbesar
bagi paling banyak orang adalah tindakan yang baik. Atau diantara
kebijaksanaan atau tindakan yang sama-sama mendatangkan kerugian terkecil
bagi paling sedikit orang.

Secara ringkas ketiga prinsip itu dapat dirumuskan sebagai berikut :
” Bertindaklah sedemikian rupa sehingga tindakanmu itu
mendatangkan keuntungan sebesar mungkin bagi sebanyak
mungkin orang ”.



2. Nilai Positif Etika Utilitarianisme

Hal yang menjadi daya tarik tersendiri dari etika utilitarianisme bahwa tidak
memaksakan sesuatu yang asing pada kita, justru mensistematisasikan dan
memformulasikan secara jelas apa yang menurut para penganutnya dilakukan oleh kita
dalam kehidupan kita sehari-hari. Dimana dirumuskan prosedur dan pertimbangan yang
banyak digunakan dalam mengambil sebuah keputusan, khususnya yang menyangkut
banyak orang.
Tiga nilai positif etika utilitarianisme, yaitu :
- Rasionalitasnya. Prinsip moral yang diajukan oleh etika utilitarianisme tidak
didasarkan pada aturan-aturan kaku yang mungkin tidak difahami dan yang
tidak bisa dipersoalkan keabsahannya. Justru ada alasan kriteria yang objektif
dan rasional mengapa suatu tindakan dianggap baik, mengapa seseorang
harus jujur alam bisnis, atau sebaliknya mengapa tidak boleh tidak jujur.
Alasan tersebut bukan sekedar bahwa itu perintah atau aturan moral yang
harus ditaati (tapi mengapa), atau bahwa itu merupakan ajaran agama,
orang tua, nenek moyang, dan seterusnya, melainkan karena ada kriteria
yang dapat diterima dan dibenarkan oleh siapa saja. Siapa saja bisa
menjadikannya sebagai pegangan dan rujukan konkret.

- Etika utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku moral. Setiap
orang diberi kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak sesuai
dengan cara tertentu sesuai dengan yang mungkin tidak diketahui alasannya
mengapa demikian. Otonomi manusia lalu diberi tempat sentral. Jadi tindakan
baik itu kita putuskan dan pilih sendiri berdasarkan kriteria yang rasional dan
bukan sekedar mengikuti tradisi, norma atau perintah tertentu. Orang tidak
lagi merasa dipaksa karena takut melawan perintah Tuhan, takut akan
hukuman, takut akan cercaan masyarakat dan sebagainya, melainkan bebas
memilih alternatif yang dianggapnya terbaik berdasarkan alasan-alasan yang
ia sendiri akui objektivitasnya. Bahkan ia sendiri secara bebas dapat
mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambilnya itu
kepada siapa saja termasuk dirinya sendiri.

- Universalitasnya. Berbeda dengan etika telelogi lainnya yang terutama
menekankan manfaat bagi diri sendiri atau kelompok sendiri, etika
utilitarianisme justru mengutamakan manfaat atau akibat baik dari suatu
tindakan bagi banyak orang. Suatu tindakan dinilai baik secara moral bukan
karena tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar bagi orang yang
melakukan tindakan itu, melainkan karena tindakan itu mendatangkan
manfaat terbesar bagi semua orang yang terkait, termasuk orang yang
melakukan tindakan itu.
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




23

Will Kymlicka menegaskan bahwa utilitarianisme mempunyai dua daya tarik yang tidak
bisa dibantah, yaitu :
- Bahwa etika ini sangat sejalan dengan intuisi moral semua manusia bahwa
kesejahteraan manusia merupakan hal yang paling pokok bagi etika dan
moralitas, dan
- Bahwa etika ini sejalan dengan intuisi moral kita bahwa semua kaidah moral
dan tujuan tindakan moral manusia harus dipertimbangkan, dinilai, dan diuji
berdasarkan akibatnya bagi kesejahteraan manusia.


3. Utilitarianisme sebagai Proses dan sebagai Standar
Penilaian

Dua wujud pemakaian etika utilitarianisme secara umum, adalah :
• Pertama, dipakai sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan,
kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak. Etika ini dipakai sebagai prosedur dan
metode untuk mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau
kebijaksanaan yang akan dilakukan.
Dalam wujud yang pertama, etika utilitarianisme dipakai untuk penyusunan
program atau perencanaan untuk mengatur sasaran dan target yang hendak
dicapai.


• Kedua, etika utilitarianisme juga dipakai sebagai standar penilaian bagi tindakan
atau kebijaksanaan y ang telah dilakukan. Etika ini dipakai sebagai standar
penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah dilakukan. Dalam wujud
kedua, etika utilitarianisme sangat tepat untuk evaluasi kebijaksanaan atau proyek
yang sudah dilakukan. Dengan kata lain, dalam membuat perencanaan, kriteria
etika utilitarianisme sebagai tujuan dapat digunakan sekaligus sebagai standar
penilaian bagi kegiatan sebagai perealisasi rencana tersebut sebagai baik atau
tidak.


4. Analisis Keuntungan dan Kerugian

Etika utilitarianisme banyak dipakai secara sadar atau tidak dalam kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik, ekonomi, sosial dan semacamnya yang menyangkut kepentingan
umum.

o Dalam bidang ekonomi
Relevan dalam konsep efisiensi ekonomi. Prinsip ekonomi menekankan agar
dengan menggunakan sumber daya (input) sekecil mungkin dapat
dihasilkan produk (output) sebesar mungkin. Dengan menggunakan
sumber daya hemat harus bisa dicapai hasil sebesar mungkin. Karenanya,
semua perangkat ekonomi harus dikerahkan sedemikian rupa untuk bisa
mencapai hasil terbesar dengan menggunakan sumber daya sekecil
mungkin. Ini prinsip dasar etika utilitarianisme.

o Dalam bidang bisnis
Etika utilitarianisme juga mempunyai relevansi yang sangat kuat. Secara
khusus etika ini diterapkan secara sadar atau tidak, diperusahaan yang
dikenal dengan the cost and benefit analysis (analisis biaya dan
keuntungan). Yang intinya berarti etika ini digunakan dalam perencanaan
dan evaluasi (atau penjualan, diversifikasi, pembukaan cabang,
penambahan tenaga, penambahan modal, dan seterusnya.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




24
Satu hal pokok yang perlu dicatat sejak awal adalah baik etika utilitarianisme maupun
analisis keuntungan dan kerugian pada dasarnya menyangkut kalkulasi manfaat.
Karenanya, etika utilitariaisme sangat sejalan dengan hakikat dan tujuan bisnis untuk
mencari keuntungan. Hanya saja dikenal sebagai manfaat (utility), sedangkan dalam
bisnis lebih sering diterjemahkan sebagai keuntungan. Sasaran akhir yag hendak dicapai
t6ak lain adalah the greatest net benefits atau the lowest net costs.


Intinya, kebijaksanaan ataupun tindakan apapun yang diambil oleh sebuah
perusahaan harus punya sasaran akhir, dalam batas-batas yang bisa diukur,
mendatangkan keuntungan keseluruhan paling besar dengan menekan biaya keseluruhan
sekecil mungkin. Sebaliknya, suatu kebijaksanaan atau tindakan yang telah diambil
perusahaan dinilai baik kalau dan hanya kalau kebijaksanaan atau tindakan itu
mendatangkan kerugian keseluruhan sekecil mungkin.

Beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian, terutama jika analisis keuntungan
dan kerugian itu ditempatkan dalam kerangk a etika bisnis, yaitu :

Pertama, keuntungan dan kerugian (costs and benefits), yang dianalisis jangan
semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi perusahaan, kendati
benar bahwa ini sasaran akhir. Juga perlu mendapat perhatian adalah keuntungan
dan kerugian bagi banyak pihak lain yang terkait dan berkepentingan, baik kelompok
primer maupun sekunder.
Jadi dalam analisis ini perlu juga diperhatikan bagaimana dan sejauh mana suatu
kebijaksanaan dan kegiatan bisnis suatu perusahaan membawa akibat yang yang
menguntungkan dan merugikan bagi kreditor, konsumen, pemasok, penyalur,
karyawan, masyarak at luas dan seterusnya. Ini berarti etika utilitarianisme sangat
sejalan dengan apa yang telah kita bahas sebagai pendekatan stakeholder .
Kedua, sering kali terjadi bahwa analisis keuntungan dan kerugian ditempatkan
dalam kerangka uang (satuan yang sangat mudah dikalkulasi). Namun dari segi
etika dan demi kepentingan bisnis yang berhasil dan tahan lama, kecenderungan
ini tidak memadai. Perlu juga mendapat perhatian serius adalah bahwa
keuntungan dan kerugian tidak haya menyangkut aspek finansial, melainkan juga
aspek-aspek moral: hak da kepentingan konsumen, hak karyawan, kepuasan
konsumen dan sebagainya. Jadi dalam etika utilitarianisme, manfaat harus
ditafsirkan secara luas dalam kerangka kesejahteraan, kabahagiaan, keamanan
sebanyak mungkin pihak terkait yang berkepentingan.
Ketiga, bagi bisnis yang baik, hal yang juga mendapat perhatian dalam analisis
keuntungan dan kerugian adalah keuntungan dan kerugian dalam jangka panjang.
Hal ini penting karena bisa saja dalam jangka pendek sebuah kebijaksanaan dan
tindakan bisnis tertentu sangat menguntungkan, tetapi ternyata dalam jangka
panjang merugikan atau paling kurang tidak memungkinkan perusahaan itu
bertahan lama. Karenanya, benefit yang menjadi sasaran utama semua
perusahaan adalah long term net benefits.

Biasanya unsur kedua dan ketiga sangat terkait erat. Aspek moral biasanya baru
terlihat menguntungkan dalam jangka panjang, sedangkan dalam jangka pendek
dirasakan sebagai merugikan. Membangun nama, citra, brand memang tidak hanya
didasarkan pada aspek keunggulan finansial, tapi terutama pada aspek moral.
Membutuhkan waktu yang lama untuk menempatkan kejujuran, mutu, pelay anan,
disiplin, dan semacamnya sebagai keunggulan suatu perusahaan baik ke dalam maupun
keluar, masyarakat lalu mempercayai perusahaan tersebut sebagai perusahaan yang
hebat dan punya nama yang dipertaruhkan.
Semua ini pada akhirnya bermuara pada satu hal : keuntungan yang akan datang
dengan sendirinya karena kepentingan da hak semua kelompok terkait yang
berkepentingan diperhatikan, karena aspek-aspek moral diperhatikan, dan karena yang
diutamakan adalah kepentingan jangka panjang dan bukan keuntungan sesaat.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




25
Untuk apa mengeruk keuntungan sesaat dengan menekan gaji karyawan dibawah
standar yang wajar, tetapi pada akhirnya seluruh produk perusahaan itu diblokir dalam
pasar internasional, karena diproduksi dengan mengekploitasi manusia yaitu buruh ?

Untuk apa pula merugikan kepentingan konsumen dengan menawarkan barang
yang tidaks esuai dengan yang diiklankan, kendati mendatangkan keuntungan besar, tapi
dalam jangka panjang diprotes oleh konsumen, tidak hanya didalam negeri tetpi juga
secara internasional.


5. Kelemahan Etika Utilitarianisme

Kelemahan—kelemahan dari etika utilitarianisme, diantaranya adalah :

a. Pertama, manfaat merupakan sebuah konsep yang begitu luas sehingga dalam
kenyataan praktis malah menimbulkan kesulitan yang tidak sedikit.
Hal ini dikarenakan manfaat bagi manusia berbeda antara satu orang dengan
orang lain. Contoh : Masuknya industri kepedesaan bisa sangat
menguntungkan bagi sebagian penduduk desa, tetapi bagi yang lain justru
merugikan mengingat hilangnya udara bersih dan ketenangan di desa.
b. Kedua, persoalan klasik yang lebih filosofis sifatnya adalah bahwa etika
utilitarianisme tidak pernah menganggap serius suatu nilai tindakan pada dirinya
sendiri, dan hanya memperhatikan nilai suatu tindakan sejauh berkaitan dengan
akibatnya.
Padahal, dapat mungkin terjadi suatu tindaka pada dasarnya tidak baik,
tetapi ternyata mendatangkan keuntungan atau manfaat.
c. Ketiga, dalam keitan dengan itu, etika utilitarianisme tidak pernah mengganggap
serius kemauan atau motivasi baik seseorang.
Akibatnya, kendati seseorang punya motiv asi yang baik dalam melakukan
tindakan tertetu, tetapi ternyata membawa kerugian yang besar bagi banyak
orang, tindakan itu tetap dinilai tidak baik dan tidak etis. Padahal, dalam
banyak kasus, sering kita tidak bisa meramalkan dan menduga secara persis
konsekuensimatau akibat dari suatu tindakan. Dangat mungkin terjadi bahwa
akibat yang merugikan dari suatu tindakan tidak dilihat sebelumnya dan baru
diketahui lama sesudahnya.
d. Keempat, variabel yang dinilai tidak semuanya bisa dikuatifikasi. Karena itu, sulit
sekali mengukur dan memperbandingkan keuntungan dan kerugia hanya
berdasarkan variabel yang ada.
Secara khusus sulit untuk menilai dan membandingkan variabel moral yang
tidak bisa dikuantifikasi.

Polusi udara, hilangnya air bersih, kenyamanan dan keselematan kerja,
kenyamanan produk, dan sebagainya, termasuk hilangnya nyawa manusia
tidak bisa dikuantifikasi dan sulit untuk bisa dipakai dalam menilai baik
bruknya suatu tindakan berdasarkan manfaat-manfaat ini. Bagi orang tertetu
kematian anak atau saudaranya dalam rangka kerjanya bisa dikompensasi
dengan sepuluh juta rupiah. Namun bagi yang lainnya, berapa pun urang
kompensasi itu tidak bisa menebus nyawa anaknya.
e. Kelima, sendainya ketiga kriteria dari etika utilitarianisme salng bertentangan,
ada kesulitan cukup besar untuk menentukan prioritas diantara ketiganya.
Misalkan :
- Tindakan A manfaat 40 % dan dinikmati 60 % orang
- Tindakan B manfaat 60 % dan dinikmati 20 % - 40% orang
Manakah yang harus diprioritaskan : manfaat terbesar atau jumlah terbesar
dari orang-orang yang menikmati manfaat itu kendati manfaatnya lebih kecil ?



ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010
17
BAB IV
PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS


1. Prinsip Umum Etika Bisnis

Secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis sangat erat terkait
dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
a. Prinsip otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan
dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang
dianggapnya baik untuk dilakukan.
Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk manusia untuk
mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang
apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis.
Hanya karena seseorang mempunyai kebebasan, ia bisa dituntut untuk
bertindak secara etis.
Orang yang otonom adalah orang yang tahu akan tindakannya, bebas dalam
melakukan tindakannya, tetapi sekaligus juga bertanggungjawab atas
tindakannya.
Kesediaan bertanggung jawab oleh Magnis Suseno disebut sebagai kesedian
untuk mengambil titik pangkal moral. Artinya dengan sikap tersebut bisa
dimungkinkan proses pertimbangan moral. Tanpa kesediaan untuk
bertanggung jawab, prinsip etika lainnya menjadi tidak relevan.

b. Prinsip kejujuran
Terdapat mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipi menipu demi meraup
keuntungan.
- Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak.
- Kejujuran juga relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu
dan harga yang sebanding.
- Kejujuran juga relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu
perusahaan.

c. Prinsip keadilan
Prinsip ini menuntut agar dalam berbisnis semua pihak diperlakukan sesuai
dengan haknya masing-masing dan tidak ada yang akan dirugikan.

d. Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principles)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga
menguntungkan semua pihak. Dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini
menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win situation.

e. Prinsip integritas moral.
Prinsip ini terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku atau
perusahaan agar dia perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama
baiknya atau nama baik perusahaannya.

Dari semua prinsip diatas, Adam Smith menganggap prinsip keadilan sebagai prinsip
paling pokok, khususnya prinsip keadilan komutatif berupa no harm. Dalam prinsip no
harm sudah dengan sendirinya terkandung prinsip kejujuran, saling menguntungkan,
otonomi (termasuk kebebasan dan tanggung jawab), dan integritas moral.


ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




18
Orang yang jujur dengan sendirinya tidak akan merugikan orang lain, orang yang
saling menguntungkan dengan pihak lain tentu tidak akan merugikan pihak lain itu,
dan dengan demikian pula orang yang otonom dan bertanggung jawab tidak akan
mau merugikan orang lain tanpa alasan yang dapat diterima dan masuk akal. Jadi
prinsip no harm punya jangkauan yang sangat luas mencakup banyak prinsip etika
lainnya.

Sesungguhnya prinsip keadilan, khusunya no harm, merupakan rumusan lain dari The
Golden Rule (Kaidah Emas) yang klasik :
Perlakukan orang lain sebagaimana anda ingin diperlakukan, dan jangan
lakukan pada orang lain apa yang anda sendiri tidak ingin dilakukan pada
anda “.
Sebagai orang bisnis, karena anda sendiri ingin agar hak dan kepentingan anda
diperhatikan, maka hargai dan perhatikan juga hak dan kepentingan orang lain dalam
kegiatan bisnis apapun yang anda lakukan.


2. Etos Bisnis

Etos bisnis adalah suatu kebiasaan atau budaya moral menyangkut
kegiatan bisnis yang dianut dalam suatu perusahaan dari satu generasi ke
generasi yang lain.

Inti etos bisnis adalah pembudayaa atau pembiasaan penghayatan akan nilai, norma
atau prinsip moral tertentu yang dianggap sebagai inti kekuatan dari suatu perusahaan
yang sekligus juga membedakannya dari perusahaan lain.

Wujudnya bisa dalam bentuk pengutamaan mutu, pelayanan, disiplin, kejujuran,
tanggung jawab, perlakuan yang fair tanpa diskriminasi, dan seterusnya.

Etos bisnis dibangun atas dasar visi atau filsafat bisnis pediri suatu perusahaan
sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi atau
filsafat bisnis ini sesungguhnya didasarkan pada nilai tertentu yang dianut oleh pendiri
perusahaan itu yang lalu dijadikan prinsip bisnisnya dan yang kemudian menjelma
menjadi sikap dan perilaku bisnis dalam kegiatan bsinisnya sehari-hari dan menjadi
dasar dari keberhasilannya. Maka terbangunlah sebuah budaya, sebuah etos, sebuah
kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam
perusahaan maupun terus menerus dalam seluruh evaluasi dan penyegaran selanjutnya
dalam perusahaan tersebut.

Biasanya etos bisnis ini direvisi, dikembangkan terus menerus sesuai dengan
perkembangan perusahaan dan juga perkembangan bisnis serta masyarakat. Dan yang
lebih mengalami perubahan adalah penerapan visi dan prinsip etis tadi dengan tuntutan
dan perkembangan perusahaan dan bisnis dalam masyarakat.

Dirumuskan secara lebih jelas, pada tingkat pertama dan nilai.
Nilai adalah apa yang diyakini sebagai hal yang paling mendasar dalam hidup ini dan
menyangkut kondisi yang didambak an dan paling penting bagi seseorang atau
kelompok orang dan sekaligus paling menentukan dalam hidup atau kelompok
orang itu. Nilai kemudian menjelma menjadi prinsip hidup. Nilai dan prinsip ini lalu
menentukan sikap seseorang atau kelompok orang. Sikap disini tidak lain adalah
kecenderungan seseorang untuk bertindak secara tertentu berdasarkan dan sesuai
dengan nilai yang dianutnya. Sikap kemudian menentukan perilaku yang merupakan
penghayatan konkret akan nilai dan prinsip dalam hidup sehari-hari.





ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




19
3. Relativitas Moral dalam Bisnis

Dalam dunia bisnis global yang ketat tanpa mengenal adanya perlindungan dan
dukungan politik tertentu, semua perusahaan bisnis mau tidak mau bersaing
berdasarkan prinsip etika tertentu. Persoalannya, De George , mengemukakan ”
etika siapa ? ”. Terutama berlaku didalam bisis global yang tidak mengenal batas
negara.

Menurut De George kita harus melihat 3 pandangan umum yang dianut, yaitu :
- Norma etis berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Artinya dimana saja suatu perusahaan beroperasi, ikuti norma da aturan moral
yang berlaku dalam negara tersebut.
- Norma sendirilah yang paling benar dan tepat.
Bertindaklah di mana saja sesuai dengan prinsip yang dianut dan berlaku di
negaramu sendiri.
- Pandangan immoralis naif yang mengatakan bahwa tidak ada norma moral yag
perlu diikuti sama sekali. (pandangan tidak benar).


4. Pendekatan Stakeholder

Merupakan sebuah pendekatan baru yang bayak digunakan khusunya dalam etika
bisnis belakangan ini, dengan mencoba mengintegrasikan kepentingan bisnis di satu
pihak dan tuntutan etika di pihak lain.

Pendekatan stakeholder adalah cara mengamati dan menjelaskan secara analitis
bagaimana berbagai unsur dipengaruhi dan mempengaruhi keputusan dan tindakan
bisnis.

Pendekatan ini terutama memetakan hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan
bisnis yang pada umumnya memperlihatkan siapa saja yang punya kepentingan,
terkait, dan terlibat dalam kegiatan bisnis pada umumnya.

Tujuannya bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan semua
pihak terkait yang berkepentingan (stakeholder) dengan suatu kegiatan bisnis dijamin,
diperhatikan dan dihargai.

Dasar pemikirannya adalah bahwa semua pihak yang punya kepentingan dalam suatu
kegiatan bisnis terlibat didalamnya karena ingin memperoleh keuntungan, maka hak
dan kepentingan mereka harus diperhatikan dan dijamin. Pendekatan stakeholder ini
pada akhirnya bermuara pada prinsip minimal yakni tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak berkepentingan lainnya dalam suatu kegiatan bisnis. Hal ini berarti
menuntut agar bisnis apa pun perlu dijalankan secara baik dan etis justru demi
menjamin kepentingan semua pihak yang terkait dalam bisnis tersebut.

Terdapat 2 kelompok stakeholder, yaitu : kelompok primer dan kelompok
sekunder.

Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham, kreditor, karyawan,
pemasok, konsumen, penyalur, pesaing dan rekanan.
Kelompok ini penting karena hidup matinya, berhasil tidaknya suatu perusahaan sangat
ditentukan oleh relasi yang saling menguntungkan yang dijalin oleh kelompok primer
tersebut.

Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat, pemerintah asing,
kelompok sosial, media massa, kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya, dan
masyarakat setempat.
Kelompok inipun sangat penting dalam situasi tertentu. Misalnya kelompok sosial LSM
dibidang lingkungan hidup, kehutanan maupun hak masyarakat lokal yang dapat sangat
merepotkan bisnis suatu perusahaan.
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




20

Ketika suatu perusahaan beroperasi tanpa memperdulikan kesejahteraan, nilai
budaya, sarana sosial dan prasarana lokal, lapangan kerja setempat, dan seterusnya,
akan menimbulkan suasana sosial yang sangat tidak kondusif dan tidak stabil bagi
kelangsungan bisnis perusahaan tersebut.

Relasi antara suatu perusahaan dan kedua kelompok stakeholder tersebur dapat
digambarkan sebagai berikut :
Pemerintah
Asing
Media
Pemerintah
Pekerja Pemilik
Massa
Setempat
Penyalur
Pemegang
Saham
PERUSAHAAN
Kreditor
Rekan
Bisnis
Konsumen Pemasok
Aktivitas
Masyarakat
Sosial
Setempat
Kelompok
Pendukung


















ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010
13
BAB III
BISNIS DAN ETIKA


1. Mitos Bisnis Amoral

Secara umum terdapat beberapa ungkapan tentang hubungan antara bisnis dan etika
yang menggambarkan sebagai dua hal yang terpisah satu sama lain, diantaranya :

Bisnis adalah bisnis. Bisnis jangan dicampuradukkan dengan etika.

Inilah ungkapan yang oleh De George disebut sebagai Mitos Bisnis Amoral.
Dalam Mitos Bisnis Amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa antara bisnis dan
moralitas atau etika tidak ada hubugan sama sekali. Bisnis tidak punya sangkut paut
dengan etika dan moralitas. Keduanya adalah dua bidang yang terpisah satu sama
lain. Karena itu bisnis tidak boleh dinilai dengan menggunakan norma dan nilai-nilai
etika. Bisnis dan etika adalah dua hal yang sangat berbeda dan tidak boleh
dicampuradukkan. Kalau itu dilakukan, telah terjadi sebuah kesalahan kategoris.
Bisnis hanya bisa dinilai dengan kategori dan norma-norma bisnis dan bukan dengan
kategori dan norma-norma etika.

Untuk memperlihatkan kebenaran mitos bisnis amoral tersebut, bisnis diibaratkan
sebagai permainan judi, yang dapat menghalalkan segala cara untuk menang, untuk
memperoleh keuntungan. Muncul beberapa argumen untuk memperlihatkan bahwa
antara bisnis dan etika tidak ada hubungan sama sekali.
Pertama, seperti halnya judi atau permainan pada umumnya, bisnis
adalah sebuah persaingan (yang mengutamakan kepentingan pribadi). Sebagai
sebuah bentuk persaingan semua orang yang terlibat di dalamnya selalu
berusaha dengan segala macam cara dan upaya untuk bisa menang.
Kedua, aturan yang dipakai dalam permaina penuh persaingan itu
berbeda dari aturan yang ada dan dikenal dalam kehidupan sosial pada
umumnya. Demikian pula, aturan bisnis jelas berbeda dari aturan sosial dan
moral pada umumnya, karena itu, bisnis tidak bisa dinilai dengan aturan moral
dan sosial sebagaimana yang kita temukan dalam kehidupan sosial pada
umumnya.

Namun selain dari pandagan diatas terdapat beberapa pandangan yang
memperlihatkan bahwa mitos bisnis amoral sesungguhnya tidak sepenuhnya benar.

Pertama, bisnis memang sering diibaratkan dengan judi bahkan sudah
dianggap sebagai semacam judi atau permainan penuh persaingan yang ketat.
Tidak ada yang membantah itu. Namun tidak sepenuhnya seratus persen sama
dengan judi atau permainan.
Memang seperti halnya dalam bisnis orang dituntut untuk berani bertaruh, berani
mengambil resiko, berani spekulasi dan berani mengambil langkah atau strategi
tertentu untuk bisa berhasil.

Cara dan strategi itu harus diperhitungkan dengan matang, sehingga tidak
sampai merugikan orang atau pihak lain dan agar pada akhirnya juga tidak
sampai merugikan dirinya sendiri. Maka, dalam bisnis orang bisnis tidak sekedar
main-main. Kalaupun itu adalah permainan, ini sebuah permainan penuh
perhitungan.

Kedua, tidak sepenuhnya benar bahwa sebagai sebuah permainan (judi),
dunia bisnis mempunyai aturan main sendiri yang berbeda sama sekali dari
aturan yang berlaku dalam kehidupan sosial pada umumnya.


ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




14
Bisnis dilakukan diantara manusia yang satu dengan manusia lainnya,
sehingga norma atau nilai yang diaggap baik dan berlaku dalam kehidupan pada
umumnya, mau tidak mau juga ikut serta dalam kegiatan dan kehidupan bisnis
seorang pelaku bisnis sebagai manusia.

Dalam iklim bisnis dewasa ini menuntut para pelaku bisnis untuk mampu
mengelola bisnisnya dalam relasi sosial yang tanggap terhadap kebutuhan dan
harapan masyarakat. Ada kesadaran yang semakin kental bahwa kalau mau
berhasil dalam bisnis, orang bsinis harus tanggap terhadap kebutuhan dan
harapan masyarak at, termasuk harapan agar bisnis dijalankan secara baik, agar
kepentingan masyarakat tidak dirugikan.

Ketiga, harus dibedakan antara legalitas dan moralitas. Suatu praktek atau
kegiatan mungkin saja dibenarkan dan diterima secara legal karena ada dasar
hukumnya. Monopoli yang didukung kebijakan pemerintah adalah contoh yang
tepat. Namun tidak dengan sendirinya benar bahwa praktek ini dibenarkan dan
diterima secara moral. Legalitas dan moralitas berkaitan satu sama lain tapi tidak
identik. Maka kendati praktek monopoli adalah praktek yang secara legal
diterima dan dibenarkan, secara moral praktek ini harus ditentang dan dikutuk
oleh masyarakat sebagai praktek yang tidak adil, tidak fair dan tidak etis terlepas
dari apakah praktek itu didasarkan pada aturan hukum bisnis atau tidak.

Keempat, etika harus dibedakan dari ilmu empiris. Dalam ilmu empiris,
suatu gejala atau fakta yang berulang terus da terjadi dimana-mana menjadi
alasan yang sah bagi kita untuk menarik sebuah teori atau hukum ilmiah yang
sah dan berlaku universal. Etika tidak mendasarkan norma atau prinsipnya pada
kenyataan faktual yang terus berulang.

Hume mengatakan, dari kenyataan yang ada (is) kita tidak bisa menarik
sebuah perintah normatif (ought).

Dari kenyataan adanya sogok, suap-menyuap, kolusi, monopoli, nepotisme yang
terjadi berulang kali dan bisa ditemukan dimana-mana dalam praktek bisnis kita,
tidak dengan sendirinya lalu didimpulkan secara sah bahwa semua praktekini
adalah praktek yang normatif dan semua pelaku bisnis tidak mengenal etika.

Kelima, pemberitaan, surat kabar dan berbagai aksi protes yang terjadi di
mana-mana untuk mengecam berbagai pelanggaran dalam kegiatan bisnis, atau
mengecam berbagai kegatan bisnis yang tidak baik, menunjukkan bahwa masih
banyak orang dan kelompok masyarakat menghendaki agar bisnis dijalankan
secara baik dan tetap mengindahkan norma-norma moral. Gerakan dan aksi
protes seperti lingkungan hidup, konsumen, buruh, wanita dan semacamnya
dengan jelas menunjukkan bahwa masyarak at tetap mengharapkan agar bisnis
dijalankan secara baik dan etis dengan memperhatikan masalah lingkungan
hidup, hak konsumen, hak buruh, hak wanita dan seterusnya.


2. Keuntungan dan Etika

Tujuan utama bisnis adalah mengejar keuntungan. Atau keuntungan adalah hal pokok
bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya,
sebagaimana dianut pandangan bisnis yang ideal. Dari sudut pandang etika,
keuntungan bukanlah hal yang buruk.

Bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena,
- Pertama, keuntungan memungkinkan suatu perusahaan bertahan dalam
kegiatan bisnisnya,


ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




15
- Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas
ekonomi yang produktif demi memacu pertumbuhan ekonomi yang menjamin
kemakmuran nasional,
- Ketiga, keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan melainkan
juga dapat mengembangkan tersu usahanya dan berarti membuka lapangan
kerja bagi banyak orang lainnya, dan dengan demikian memajukan ekonomi
nasional.

Terdapat beberapa argumen yang menunjukkan bahwa demi memperoleh keuntungan
etika sangat dibutuhkan, sangat relevan, dan mempunyai tempat yang sangat strategis
dalam bisnis dewasa ini, yaitu
- Dalam bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional dibidangnya. Mereka dituntut mempunyai keahlian dan ketrampilan
bisnis yang melebihi kemampuan yang dimiliki orang lain. Hanya orang
profesional yang akan menang dan berhasil dalam bisnis yang penuh persaingan
ketat. Bahkan kini perusahaan yang unggul bukan hanya perusahaan yang
mempunyai kinerja bisnis manajerial finansial yang baik, melainkan juga
perusahaan yang mempunyai kinerja etis, etos bisnis yang baik.
-
Perusahaan yang melayani kepentingan semua pihak yang berbisnis dengannya,
perusahaan yang mampu mempertahankan mutu, yang mampu memenuhi
permintaan pasar (konsumen) dengan tingkat harga, mutu dan waktu yang tepat
akan menang.
- Dalam persaingan bisnis yang ketat para pelku bisis modern sangat sadar
konsumen adalah benar-benar raja.

Karenanya, yang paling penting untuk bisa untung dan bertahan dalam pasar
penuh persaingan adalah sejauh mana suatu perusahaan bisa merebut dan
mempertahankan kepercayaan konsumen. Termasuk didalamnya adalah
pelayanan, tanggap terhadap keluhan konsumen, hormat terhadap hak dan
kepentingan konsumen, menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang baik
dan harga sebanding, tidak menipu konsumen dengan iklan yang bombastis, dan
seterusnya.
- Dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral tak
berpihak tetapi efektif menjaga agar kepentingan dan hak semua pihak dijamin
para pelaku bisnis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari campur tangan
pemerintah, yang baginya akan sangat merugikan kelangsungan bisnisnya.
- Perusahaan-perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa karyawan
bukanlah tenaga yang siap untuk diekspoitasi demi mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Justru sebaliknya, karyawan semakin dianggap sebagai subjek
utama dari bisnis suatu perusahaan yang sangat menentukan berhasil tidaknya,
bertahan tidaknya perusahaan tersebut. Dalam bisnis yang penuh persaingan
ketat, kary awan adalah orang-orang profesional yang sangat tidak mudah
digantikan.

Karena mengganti seorang tenaga profesional akan sangat merugikan
baik dari segi finansial, waktu, energi, irama kerja perusahaan, team
work, momentum, dan seterusnya.
Dalam hal ini termasuk memberikan gaji yang baik, penghargaan yang baik,
sikap yang baik,suasana kerja yang baik, perlakuan yang adil dan fair kepada
semua karyawan atas dasar-dasar yang rasional dan objektif, perlakuan yang
manusiawi, jaminan terhadap hak-hak karyawan, dan sebagainya.

Berdasarkan berberapa argumen diatas terlihat jelas bahwa mitos bisnis amoral adalah
mitos yang tidak benar. Anggapan bahwa bisnis adalah kegiatan yang amoral, yaitu
kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan moralitas adalah sama sekali tidak
benar. Justru sebaliknya, bisnis sangat berkaitan dengan etika bahkan sangat
mengandalkan etika agar bisnisnya bisa bertahan dalam jangka panjang.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010




16
Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale mengatakan ” Sebuah kode moral
yang kuat dalam suatu bisnis merupakan langkah pertama menuju
suksesnya. Kami yakin bahwa manajer yang etis adalah manajer pemenang ”


3. Sasaran dan Lingkup Etika Bisnis

Terdapat 3 sasaran dan lingkup pokok etika bisnis, yaitu :

a. Etika bisnis sebagai etika profesi membahas berbagai prinsip, kondisi, dan
masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis dengan tujuan
untuk menghimbau para pelaku bisnis untuk menjalankan bisnisnya secara baik
dan etis demi nilai-nilai luhur (kejujuran, tanggungjawab, pelayanan, hak dan
kepentingan orang lain, dan lain-lain).

b. Untuk menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan,
dan masyarakat luas pemilik aset umum semacam lingkungan hidup, akan hak
dan kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis siapapun
juga.
c. Etika bisnis juga berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat menentukan
etis tidaknya suatu praktek bisnis, secara makro (mengenai monopoli,
oligopoli, kolusi, dan praktek-praktek semacamnya) yang akan sangat
mempengaruhi baik tidaknya praktek bisnis.
Dalam ruang lingkupnya, etika bisnis menekankan pentingnya kerangka legal-
politis bagi praktek bisnis yang baik, yaitu pentingnya hukum dan aturan bisnis
serta peran pemerintah yang efektif menjamin keberlakuan aturan bisnis
tersebut secara konsekuen tanpa pandang bulu.






















ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010

PERTAMA

1


B A H A N A J A R
ETIKA BISNIS


















STIE BUDDHI – TANGERANG
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





2
2010

ETIKA BISNIS



GAMBARAN UMUM PERKULIAHAN

A. Tatap muka 16 kali pertemuan terdiri dari :
• 7 kali tatap muka sebelum UTS dan 7 kali tatap
muka sebelum UAS.
• 2 kali pertemuan UTS & UAS.
B. Komponen penilaian
• Absen 10 %
• Tugas 20 %
• UTS 30 %
• UAS 40 %
Total
100 %
Kehadiran mahasiswa minimal 75 % atau 10 kali
pertemuan.

C. Grade penilaian
• A …… 80 - 100
• B …… 67 - 79
• C …… 55 - 66
• D …... 45 - 54
• E …… 0 - 44
D. Buku pengantar
• Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya, Karangan : DR. A.
Sonny Keraf, Penerbit Pustaka Ilmu, edisi baru 1998.
• Etika Bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan di
Indonesia, Karangan: DR. Bambang Rudito & Melia Famiola,
Penerbit Rekayasa Sains – Bandung, cetakan pertama 2007.
• Etika Bisnis (Prinsip dan aplikasi), Karangan Heru
Satyanugraha, Terbitan LPFE Universitas Trisakti– Jakarta,
edisi ke 2 2003.
• Dll.




ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





3



BAB I
PENDAHULUAN
TEORI-TEORI ETIKA


1. Etika dan moralitas

Etika
o Berasal dari kata Yunani ethos (dalam bentuk jamaknya ta ethe) yang berarti
’adat kebiasaan atau kebiasaan’. Berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,
pada diri sendiri maupun pada kelompok masyarakat.
o Berkaitan dengan :
Nilai-nilai
Tata cara hidup yang baik
Aturan hidup yang baik
Segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang
lain atau dari satu generasi ke generasi lain.

o Etika sebagai ilmu adalah studi tentang moralitas, merupakan suatu usaha
mempelajari moralitas. Etika merupakan kegiatan yang mempelajari norma moral
seseorang atau norma moral suatu masyarakat, dan mempertanyakan
bagaimana menerapk an norma-norma tersebut pada kehidupa kita, dan
mempertanyakan apakah norma tersebut didasarkan pada alasan yang jelas dan
benar.
o Etika secara umum adalah usaha yang sistematik untuk memahami pengalaman
moral individu dan masyarakat, sedemikian rupa untuk menentukan aturan-
aturan yang sebenarnya mengatur tingkah laku manusia, nilai-nilai yang layak
dikembangkan dan sifat-sifat yang perlu dikembangkan dalam hidup.

o Studi etika menurut DeGeorge (1999) dapat dibedakan menjadi :
Etika deskriptif (descriptive ethics) yaitu mempelajari dan menjelaskan
moralitas dari orang, budaya, atau masyarakat. Studi deskriptif mengenali,
membandingkan dan membedakan berbagai sistem moral, praktek,
kepercayaan, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang berbeda.
Etika normatif (normative ethics) mendasarkan pada pemahaman yang
diperoleh dari etika deskriptif, dan berusaha untuk mengembangkan suatu
sistem moral yang terpadu.
Etika meta adalah merupakan studi dari etika normatif. Sering disebut
sebagai analytical ethics. Etika meta bersangkutan dengan pengertian dari
istilah moral, misalnya apa arti tanggungjawab moral (moral resonsibility).
Juga mempelajari logika dari penelaahan moral (moral reasoning) meliputi
penjelasan dan penilaian asumsi dan investigasi kebenaran dari
argumentasi moral.


Moralitas
o Berasal dari kata Latin mos (jamaknya mores) berarti ‘adat istiadat’ atau
kebiasaan’.

Perbedaan & persamaan etika dan moralitas

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





4
o Pertama, etika & moralitas secara harfiah sama-sama berarti sistem nilai
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah
terinstruksionalkan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam
pola prilaku yang tetap dan terulang dalam waktu yang lama sebagaimana
sebuah kebiasaan (pengertian etika secara sempit). Agama dan kebudayaan
dianggap sebagai sumber utama milai moral dan aturan atau norma moral dan
etika.

o Kedua, etika mempunyai arti lebih luas dari moralitas. Diartikan sebagai filsafat
ilmu atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan moral yang diberikan oleh
moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas.

o Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup bak
sebagai manusia dan mengenai
Masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai
dan norman-norma yang umum diterima (pengertian etika secara luas).

Immanuel Kant
o Etika dalam bahasa Kant berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud
membantu manusia untuk bertindak bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan
(otonom dan bersifat internal). Sebaliknya heteronomi adalah sikap manusia
dalam bertindak dengan hanya sekedar mengikuti aturan moral yang bersikap
eksternal. Suatu tindakan dianggap baik hanya karena sesuai dengan moral
disertai perasaan takut atau bersalah (eksternal).

o Sehingga secara umum Kant membagi ETIKA menjadi 3 bentuk, yaitu :
Etika Otonomi ( berdasarkan kesadarannya sendiri)
Etika Heteronomi ( sekedar mengikuti aturan moral )
Etika Theonom ( memakai pernyataan Tuhan/Allah
sebagai sumber)

2. Tiga norma umum

o Norma dalam masyarakat dibedakan menjadi :
Norma khusus, yang mengatur kegiatan atau kehidupan dalam bidang
tertentu, yang berlaku pada seseorang pada waktu orang tersebut berada
dalam bidang tersebut dan melakukan kegiatan tersebut, serta tidak
berlaku bila orang tersebut tidak lagi melakukan kegiatan tersebut.
Norma umum, lebih bersifat umum dan sering dapat dikatak an bersifat
universal, atau berlaku dibagian manapun di dunia ini, di waktu kapanpun,
dan dilingkungan masyarakat manapun juga serta berlaku bagi setiap
orang selama hidupnya dalam suatu masyarakat.

Norma-norma umum terbagi atas tiga, yaitu norma sopan santun,
norma hokum dan norma moral.

• Norma sopan santun, yang disebut juga norma etiket, adalah
norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahir manusia,
misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu,
makan, minum, duduk, berpakaian dan sebagainya. Karena
hanya menyangkut sikap dan perilaku lahiriah dalam pergaulan
sehari-hari maka tidak menentukan baik buruknya seseorang
sebagai manusia.
• Norma hukum, adalah norma yang dituntut keberlakuannya
secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan
niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Mencerminkan harapan, keinginan,
dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tentang bagaimana
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





5
hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat
tersebut harus diatur secara baik. Hal ini karena mengikat
semua anggota masyarakat tanpa terkecuali. Dimana
keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang
dan dijamin oleh hukuman atau sangsi bagi pelanggarnya. Juga
selalu dalam bentuk aturan tertulis yang dapat dijadikan
pegangan atau rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat
baik dalam berprilaku maupun dalam menjatuhkan sangsi bagi
pelanggarnya.
• Norma moral, yaitu aturan mengenai sikap, perilaku dan
tindakan manusia sebagai manusia yang hidup bermasyarakat.
Menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya
tindakan dan perilak u manusia sejauh ia dilihat sebagai
manusia.
Norma moral menjadi standar yang digunakan masyarakat
untuk menentukan baik buruknya perilaku dan tindakan orang
tersebut sebagai anggota masyarakat.

Norma moral memiliki karakteristik dalam kehidupan
masyarakat (Keraf 1998).
Pertama, norma moral bersangkutan dengan hal-hal yang
memberikan dampak yang besar bagi kehidupan dan
kesejahteraan manusia pribadi maupun kelompok. Mengatur
agar tindakan dan perilaku manusia tidak merugikan dirinya
dan orang lain ataupun agar manusia memberikan kebaikan
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Kedua, norma moral memiliki karakteristik untuk
didahulukan dari nilai-nilai lain, termasuk kepentingan
pribadi.
Ket iga, norma moral diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap
orang tanpa memperdulikan apakah dengan mematuhi
norma tersebut akan memperoleh sanksi atau hukuman.
Juga bukan pula dipatuhi karena mengharapkan imbalan
atau keuntungan. Jadi norma moral dipatuhi karena nilai-
nilai yang terkandung didalamnya, karena kesadaran dari
orang atau masyarakat yang memahami akan nilai-nilai yang
ingin dicapai dengan adanya norma tersebut.
Keempat, norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah
oleh keputusan suatu badan tertentu atau penguasa
tertentu. Tidak dituliska, tidak dijadikan peraturan, tidak
ditetapk an atau dirubah oleh pemerintah atau badan
apapun. Norma ini telah merupakan aturan tak tertulis
dalam hati setiap anggota masyarakat yang karena itu
mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri.
Kelima, norma moral selalu melibatkan suatu perasaan
khusus, yaitu perasaan moral (moral sense). Perasaan moral
ini timbul bila seseorang melakukan suatu tindakan yangs
secara moral salah, ataupun bila melihat tindakan orang lain
yang tidak sesuai dengan nilai moral. Dapat berupa
perasaan bersalah, menyesali diri sendiri untuk tindakan
yang salah, atau dalam bentuk perasaan marah, atau
keinginan untuk menghukum orang yang melakukan
tindakan norma moral tersebut.

3. Dua teori etika

o Norma dalam masyarakat dibedakan menjadi :
Etika Deontologi
Berasal dari kata Yunani ‘deon ’, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010
8
BAB II
BISNIS : SEBUAH PROFESI ETIS?


1. Etika Terapan

Secara umum etika terbagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum
berbicara mengenai norma dan nilai norma, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk
bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika,
lembaga-lembaga normatif (suara hati yang terpenting) dan semacamnya. Etika
umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoretis,
meskipun tidak terlalu tepat karena etika berkaitan dengan perilaku dan kondisi
praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupannya sehari-hari dan tidak hanya
semata-mata bersifat teoretis.

Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam
bidang kehidupan yang khusus. Di satu pihak etika khusus memberi aturan sebagai
pegangan, pedoman dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu yang dijalani dan dijalankannya. Namun dipihak lain, etika
khusus sebagai refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu
mempersoalkan praktek, kebiasaan, dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan
kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum tertentu di satu pihak dan
kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan tersebut dipihak lain.

Etika khusus terbagi atas 3 , yaitu :
- Etika individual, lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam
etika individual ini adalah prinsip integritas pribadi, yang berbicara mengenai
perilaku individu tertentu dalam rangka menjada dan mempertahankan nama
baiknya sebagai pribadi moral.
- Etika sosial, berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola
perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesama.
Sebagai makhluk sosial manusia bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk
individual dan sosial, etika individual dan etika sosial berkaitan erat satu sama
lain, bahkan dalam arti tertentu sulit untuk dilepaskan dan dipisahkan satu
sama lain.
- Etika lingkungan hidup merupakan cabang etika khusus yang semakin
ramai dibicarakan. Etika ini berbicara mengenai hubungan antara manusia
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam
yang lebih luas dalam totalitasnya dan juga hubungan antara manusia yang
satu denga manusia yang lain yang berdampak langsung atau tidak langsung
pada lingkungan secara keseluruhan.


2. Etika Profesi
A. Pengertian Profesi
Kata profesi dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah
hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi
dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam.
Dengan demikian orang professional adalah orang yang melakukan suatu
pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan
keahlian dan ketrampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang
mendalam atas pekerjaannya itu. Atau orang professional adalah orang yang
melakukan suatu pekerjaan karena ahli di bidang tersebut dan meluangkan
seluruh waktu, tenaga dan perhatiannya untuk pekerjaan tersebut. Mereka
memiliki komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010



9
3 hal yang membedakan pekerjaan seorang profesional sebagai sebuah profesi
dan pekerjaan sebagai sebuah hobi.
- Pekerjaan sebagai hobi dijalankan terutama demi kepuasan dan
kepentingan pribadi.
- Pekerjaan sebagai hobi tidak punya tanggung jawab moral yangs erius
atas hasil (dan) pekerjaan itu bagi orang lain.
- Pekerjaan sebagai hobi bukan merupakan sumber utama dari nafkah
hidupnya.
Profesi menuntut ketekunan, keuletan, disiplin, komitmen dan
irama kerja yang pasti karena pekerjaan itu melibatkan secara
langsung pihak-pihak lain.

B. Ciri-ciri profesi
Ciri-ciri profesi secara umum diantaranya, adalah :
- Adanya keahlian dan ketrampilan khusus. Profesi selalu mengandaikan
adanya suatu keahlian dan ketrampilan khusus tertentu yang dimiliki oleh
sekelompok orang yang profesional untuk bisa menjalankan pekerjaannya
dengan baik. Keahlian dan ketrampilan khusus ini umumnya dimiliki
dengan kadar, lingkup da tingkat yang melebihi orang kebanyakan
lainnya. Hal ini didapat berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman
yang diperolehnya bertahun-tahun.
- Adanya komitmen moral yang tinggi. Komitmen ini biasanya dituangkan,
khususnya untuk profesi yang luhur, dalam bentuk aturan khusus yang
menjadi pegangan bagi setiap orang yang mengemban profesi yang
bersangkutan. Aturan ini berlaku sebagai semacam kaidah moral yang
khusus bagi orang-orang yang mempunyai profesi tersebut. Ini
merupakan autran main dalam menjalankan atau mengemban profesi
tersebut, yang biasanya disebut sebagai kode etik (kode etik kedokteran,
pengacara, wartawan, akuntan public, dll). Kode etik ini harus dipenuhi
dan ditaati oleh semua orang yang mempunyai profesi tersebut. Biasanya
berisi tuntutan keahlian dan komitmen moral yang berada diatas tingkat
rata-rata tuntutan bagi orang kebanyak an dan sekaligus merupakan
tuntutan minimal yang harus dipenuhi bagi orang yang mempunyai
profesi.

- Biasanya orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya.
- Berarti ia hidup sepenuhnya dari profesi ini. Biasanya
dibayar dengan gaji sangat tinggi sebagai konsekuensi dari
pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, ketrampilan.
- Profesinya telah membentuk identitas orang tersebut. Ia
tidak bisa lagi dipisahkan dari profesinya itu. Yang berarti
dirinya berkat dan melalui profesinya.
- Pengabdian kepada masyarakat.
- Adanya izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut.
- Kaum profesional biasanya menjadi anggota suatu
organisasi profesi.

C. Prinsip-prinsip etika profesi
Terdapat beberapa prinsip dalam etika profesi, diantaranya :
• Prinsip tanggung jawab. Ia juga bertanggungjawab atas dampak profesinya itu
terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain.
• Prinsip keadilan. Menuntut orang yang professional adar dalam menjalankan
profesinya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya yang
dilayaninya dalam rangka profesinya.
• Prinsip otonomi. Otonomi inipun dibatasi oleh tanggungjawab dan komitmen
professional.
• Prinsip integritas moral. Menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, juga
kepentingan masyarakat.


ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010



10
3. Menuju Bisnis sebagai profesi Luhur
Dalam bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku bisnis untuk
menjadi orang yang professional. Hanya saja, sering sikap profesional dan
profesionalisme yang dimaksud dalam dunia bisnis hanya terbatas pada kemampuan
teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis :
manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia, dan seterusnya. Hal ini
terutama dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-
besarnya.
Yang sangat dilupakan dan tidak banyak mendapat perhatian adalah bahwa
profesionalisme dan sikap professional juga mengandung pengertian komitmen
pribadi dan moral pada profesi tersebut dan pada kepentingan pihak-pihak yang
terkait.
Orang yang profesional selalu berarti orang yang punya komitmen
pribadi yang tinggi, yang serius dalam menjalankan pekerjaannya, yang
bertanggungjawab atas pekerjaannya agar tidak sampai merugikan pihak
lain juga yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan
mutu yang sangat baik karena komitmen dan tanggungjawab moral
pribadinya.
Bahkan dalam masyarakat terdapat pandangan dan anggapan yang melihat
bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang kotor, penuh tipu menipu, penuh kecurangan
dan dicemoohkan.
Hal ini terjadi dikarenakan oleh ulah orang-orang atau lebih tepat beberapa orang
bisnis, yang memperlihatkan citra begitu negatif tentang bisnisnya dimasyarakat.
Mereka hanya ingin mengejar keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa
dengan mutu yang rendah, yang tidak memperdulikan pelayanan konsumen bahkan
tidak memperdulikan keluhan konsumen, menawarkan barang tidak seperti yang
diiklankan atau sebagaimana yang tertera pada labelnya, mengambil alih (mencaplok)
bisnis atau usaha orang lain, usaha fiktif, dan sebagainya yang menyebabkan citra
bisnis yang begitu negatif.

A. Pandangan Praktis - Realistis
Pandangan ini terutama bertumpu pada kenyataan (pada umumnya) yang
diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis
sebagai suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi,
menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Bisnis
dipandang sebagai suatu kegiatan profit making. Dasar pemikirannya bahwa
orang yang terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain
ingin mencari keuntungan. Kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan
kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan
bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa jalan.

Pandangan ini umumnya dianggap sebagai pandangan ekonomi klasik (Adam
Smith) dan ekonomi neo-klasik (misalnya-Milton Friedman). Pendapatnya bahwa
pemilik modal harus mendapat keuntungan untuk bisa merangsangnya
menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif. Tanpa keuntungan pemilik
modal tidak akan menanamkan modalnya, dan itu berarti tidak akan ada
kegiatan ekonomi produktif sama sekali. Yang pada akhirnya berarti, tidak ada
pekerja yang dipekerjakan dan konsumen tidak akan mendapat barang
kebutuhannya.

Adam Smith berasumsi bahwa :
• Dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja dimana setiap
orang tidak bias lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bias
memenuhi semua kebutuhan hidupnya sendiri. Mereka harus
menukarkan barang produksinya dengan barang produksi milik orag
lain. Dalam perkembangannya ada yang berhasil mengumpulkan modal
dan memperbesar usahanya sementara yang lain hanya bias menjadi
pekerja pada orang lain. Maka terjadilah kelas sosial.


ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010



11
• Semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk
membuat kondisi hidupnya menjadi lebih baik. Dalam keadaan social
dimana terjadi kelas-kelas sosial diatas, jalan terbaik untuk tetap
mempertahankan kegiatan ekonomi adalah dengan merangsang pemilik
modal untuk tetap menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif
yang sangat berguna bagi ekonomi nasional dan dunia, termasuk bagi
kelas pekerja. Hanya dengan membuat pemilik modal menanamkan
modalnya, banyak orang bias memnuhi kebutuhan hidupnya.

Satu-satunya jalan adalah dengan memberikan keuntungan pada para
pemilik modal, y ang berarti secara kuantitatif lewat kegiatan produktif
keadaan modalnya serta kondisi hidupnya menjadi lebih baik. Jadi
keuntungan adalah hal yang secara moral dan social baik, antara lain
karena punya akibat yang berguna bagi banyak orang lain.
Karena itu secara moral tidak salah kalau orang berbisnis untuk mencari
keuntungan.

Keuntungan merupakan hal yang baik, karena keuntungan merupakan
semacam upah, atau imbalan, seperti halnya semua pekerja atau
karyawan yang menyumbangkan tenaga dan pikirannya mendapat upah
atau imbalan untuk itu.
Dengan upah karyawan memperbaiki kondisi hidupnya, demikian pula
dengan keuntungan pemilik modal memperbaiki kondisi hidupnya. Ini
merupakan hal yang wajar dan normal.

Milton Friedman mengatakan, bohong kalau bisnis tidak mencari
keuntungan. Dalam kenyataannya hanya keuntungalah yang menjadi
satu-satunya motivasi dasar orang berbisnis. Menurut Friedman, mencari
keuntungan bukan hal yang jelek, karena semua orang memasuki bisnis
selalu dengan punya satu motivasi dasar : mencari keuntungan. Artinya,
kalau semua orang mencari keuntungan, maka sah dan etis kalau saya
pun mencari keuntungan dalam bisnis.

B. Pandangan Ideal
Menurut pandangan ini, bisnis adalah suatu kegiatan diantara manusia yang
menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa
keuntungan adalah tujuan utama bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa
bertahan. Namun keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari
kegiatan bisnis. Yaitu bahwa dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara
baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa
terikat membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang
memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik itu.

Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair diantara pihak-
pihak yang terlibat. Pandangan ini bersumber dari ekonomi klasiknya Adam
Smith. Menurut teori ini, pertukaran dagang terjadi karena satu orang
memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan
barang lai yang tidak bisa dibuatnya sendiri. Jadi sesungguhnya kegiatan bisnis
terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-
masing.

Dengan kata lain, tujuan utama bisnis sesungguhnya bukan untuk
mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup
orang lain dan melalui itu (menurut Adam Smith, hanya melalui itu) ia
bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya.

Dalam kenyataannya persoalan yang dihadapi adalah bagaimana mengusahakan
agar keuntungan yang diperoleh itu memang wajar, halal dan fair.

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010



12
Terlepas pandangan mana yang dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok
bagi bisnis. Masalahnya adalah apakah mengejar keuntungan lalu berarti
mengabaikan etika dan moralitas ? Yang penting adalah bagaimana keuntungan
itu sendiri dicapai.

Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah
dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui
organisasi tersebut dapat dikembangkan sebuah profesi dalam pengertian yang
sebenar-benarnya sebagai profesi yang luhur. Sehingga dapoat diharapkan
terwujudnya iklim bisnis yang lebih baik. Tidak ada nepotisme, tidak ada kolusi,
tidak ada diskriminasi dalam pemberian rekomendasi, peringkat atau label
kualitas, tidak ada koneksi, tidak ada suap, dan semacamnya. Jadi integritas
organisasi profesi tersebut juga tinggi dan baik. Demikian pula, inipun
mengandaikan bahwa pemerintah, melalui departemen terkai, memang bersih
dari praktek-praktek yang ak an merusak citra bisnis yang baik dan etis.




























ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
2010
1


B A H A N A J A R
ETIKA BISNIS


















STIE BUDDHI – TANGERANG
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





2
2010

ETIKA BISNIS



GAMBARAN UMUM PERKULIAHAN

A. Tatap muka 16 kali pertemuan terdiri dari :
• 7 kali tatap muka sebelum UTS dan 7 kali tatap
muka sebelum UAS.
• 2 kali pertemuan UTS & UAS.
B. Komponen penilaian
• Absen 10 %
• Tugas 20 %
• UTS 30 %
• UAS 40 %
Total
100 %
Kehadiran mahasiswa minimal 75 % atau 10 kali
pertemuan.

C. Grade penilaian
• A …… 80 - 100
• B …… 67 - 79
• C …… 55 - 66
• D …... 45 - 54
• E …… 0 - 44
D. Buku pengantar
• Etika Bisnis tuntutan dan relevansinya, Karangan : DR. A.
Sonny Keraf, Penerbit Pustaka Ilmu, edisi baru 1998.
• Etika Bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan di
Indonesia, Karangan: DR. Bambang Rudito & Melia Famiola,
Penerbit Rekayasa Sains – Bandung, cetakan pertama 2007.
• Etika Bisnis (Prinsip dan aplikasi), Karangan Heru
Satyanugraha, Terbitan LPFE Universitas Trisakti– Jakarta,
edisi ke 2 2003.
• Dll.




ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





3



BAB I
PENDAHULUAN
TEORI-TEORI ETIKA


1. Etika dan moralitas

Etika
o Berasal dari kata Yunani ethos (dalam bentuk jamaknya ta ethe) yang berarti
’adat kebiasaan atau kebiasaan’. Berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik,
pada diri sendiri maupun pada kelompok masyarakat.
o Berkaitan dengan :
Nilai-nilai
Tata cara hidup yang baik
Aturan hidup yang baik
Segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang
lain atau dari satu generasi ke generasi lain.

o Etika sebagai ilmu adalah studi tentang moralitas, merupakan suatu usaha
mempelajari moralitas. Etika merupakan kegiatan yang mempelajari norma moral
seseorang atau norma moral suatu masyarakat, dan mempertanyakan
bagaimana menerapk an norma-norma tersebut pada kehidupa kita, dan
mempertanyakan apakah norma tersebut didasarkan pada alasan yang jelas dan
benar.
o Etika secara umum adalah usaha yang sistematik untuk memahami pengalaman
moral individu dan masyarakat, sedemikian rupa untuk menentukan aturan-
aturan yang sebenarnya mengatur tingkah laku manusia, nilai-nilai yang layak
dikembangkan dan sifat-sifat yang perlu dikembangkan dalam hidup.

o Studi etika menurut DeGeorge (1999) dapat dibedakan menjadi :
Etika deskriptif (descriptive ethics) yaitu mempelajari dan menjelaskan
moralitas dari orang, budaya, atau masyarakat. Studi deskriptif mengenali,
membandingkan dan membedakan berbagai sistem moral, praktek,
kepercayaan, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai yang berbeda.
Etika normatif (normative ethics) mendasarkan pada pemahaman yang
diperoleh dari etika deskriptif, dan berusaha untuk mengembangkan suatu
sistem moral yang terpadu.
Etika meta adalah merupakan studi dari etika normatif. Sering disebut
sebagai analytical ethics. Etika meta bersangkutan dengan pengertian dari
istilah moral, misalnya apa arti tanggungjawab moral (moral resonsibility).
Juga mempelajari logika dari penelaahan moral (moral reasoning) meliputi
penjelasan dan penilaian asumsi dan investigasi kebenaran dari
argumentasi moral.


Moralitas
o Berasal dari kata Latin mos (jamaknya mores) berarti ‘adat istiadat’ atau
kebiasaan’.

Perbedaan & persamaan etika dan moralitas

ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





4
o Pertama, etika & moralitas secara harfiah sama-sama berarti sistem nilai
tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah
terinstruksionalkan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam
pola prilaku yang tetap dan terulang dalam waktu yang lama sebagaimana
sebuah kebiasaan (pengertian etika secara sempit). Agama dan kebudayaan
dianggap sebagai sumber utama milai moral dan aturan atau norma moral dan
etika.

o Kedua, etika mempunyai arti lebih luas dari moralitas. Diartikan sebagai filsafat
ilmu atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan moral yang diberikan oleh
moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas.

o Dalam pengertian kedua, diartikan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup bak
sebagai manusia dan mengenai
Masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai
dan norman-norma yang umum diterima (pengertian etika secara luas).

Immanuel Kant
o Etika dalam bahasa Kant berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud
membantu manusia untuk bertindak bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan
(otonom dan bersifat internal). Sebaliknya heteronomi adalah sikap manusia
dalam bertindak dengan hanya sekedar mengikuti aturan moral yang bersikap
eksternal. Suatu tindakan dianggap baik hanya karena sesuai dengan moral
disertai perasaan takut atau bersalah (eksternal).

o Sehingga secara umum Kant membagi ETIKA menjadi 3 bentuk, yaitu :
Etika Otonomi ( berdasarkan kesadarannya sendiri)
Etika Heteronomi ( sekedar mengikuti aturan moral )
Etika Theonom ( memakai pernyataan Tuhan/Allah
sebagai sumber)

2. Tiga norma umum

o Norma dalam masyarakat dibedakan menjadi :
Norma khusus, yang mengatur kegiatan atau kehidupan dalam bidang
tertentu, yang berlaku pada seseorang pada waktu orang tersebut berada
dalam bidang tersebut dan melakukan kegiatan tersebut, serta tidak
berlaku bila orang tersebut tidak lagi melakukan kegiatan tersebut.
Norma umum, lebih bersifat umum dan sering dapat dikatak an bersifat
universal, atau berlaku dibagian manapun di dunia ini, di waktu kapanpun,
dan dilingkungan masyarakat manapun juga serta berlaku bagi setiap
orang selama hidupnya dalam suatu masyarakat.

Norma-norma umum terbagi atas tiga, yaitu norma sopan santun,
norma hokum dan norma moral.

• Norma sopan santun, yang disebut juga norma etiket, adalah
norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahir manusia,
misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu,
makan, minum, duduk, berpakaian dan sebagainya. Karena
hanya menyangkut sikap dan perilaku lahiriah dalam pergaulan
sehari-hari maka tidak menentukan baik buruknya seseorang
sebagai manusia.
• Norma hukum, adalah norma yang dituntut keberlakuannya
secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan
niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat. Mencerminkan harapan, keinginan,
dan keyakinan seluruh anggota masyarakat tentang bagaimana
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010





5
hidup bermasyarakat yang baik dan bagaimana masyarakat
tersebut harus diatur secara baik. Hal ini karena mengikat
semua anggota masyarakat tanpa terkecuali. Dimana
keberlakuan norma ini lebih tegas dan pasti, karena ditunjang
dan dijamin oleh hukuman atau sangsi bagi pelanggarnya. Juga
selalu dalam bentuk aturan tertulis yang dapat dijadikan
pegangan atau rujukan konkret bagi setiap anggota masyarakat
baik dalam berprilaku maupun dalam menjatuhkan sangsi bagi
pelanggarnya.
• Norma moral, yaitu aturan mengenai sikap, perilaku dan
tindakan manusia sebagai manusia yang hidup bermasyarakat.
Menyangkut aturan tentang baik buruknya, adil tidaknya
tindakan dan perilak u manusia sejauh ia dilihat sebagai
manusia.
Norma moral menjadi standar yang digunakan masyarakat
untuk menentukan baik buruknya perilaku dan tindakan orang
tersebut sebagai anggota masyarakat.

Norma moral memiliki karakteristik dalam kehidupan
masyarakat (Keraf 1998).
Pertama, norma moral bersangkutan dengan hal-hal yang
memberikan dampak yang besar bagi kehidupan dan
kesejahteraan manusia pribadi maupun kelompok. Mengatur
agar tindakan dan perilaku manusia tidak merugikan dirinya
dan orang lain ataupun agar manusia memberikan kebaikan
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
Kedua, norma moral memiliki karakteristik untuk
didahulukan dari nilai-nilai lain, termasuk kepentingan
pribadi.
Ket iga, norma moral diharapkan dapat dipatuhi oleh setiap
orang tanpa memperdulikan apakah dengan mematuhi
norma tersebut akan memperoleh sanksi atau hukuman.
Juga bukan pula dipatuhi karena mengharapkan imbalan
atau keuntungan. Jadi norma moral dipatuhi karena nilai-
nilai yang terkandung didalamnya, karena kesadaran dari
orang atau masyarakat yang memahami akan nilai-nilai yang
ingin dicapai dengan adanya norma tersebut.
Keempat, norma moral tidak ditetapkan dan/atau diubah
oleh keputusan suatu badan tertentu atau penguasa
tertentu. Tidak dituliska, tidak dijadikan peraturan, tidak
ditetapk an atau dirubah oleh pemerintah atau badan
apapun. Norma ini telah merupakan aturan tak tertulis
dalam hati setiap anggota masyarakat yang karena itu
mengikat semua anggota dari dalam dirinya sendiri.
Kelima, norma moral selalu melibatkan suatu perasaan
khusus, yaitu perasaan moral (moral sense). Perasaan moral
ini timbul bila seseorang melakukan suatu tindakan yangs
secara moral salah, ataupun bila melihat tindakan orang lain
yang tidak sesuai dengan nilai moral. Dapat berupa
perasaan bersalah, menyesali diri sendiri untuk tindakan
yang salah, atau dalam bentuk perasaan marah, atau
keinginan untuk menghukum orang yang melakukan
tindakan norma moral tersebut.

3. Dua teori etika

o Norma dalam masyarakat dibedakan menjadi :
Etika Deontologi
Berasal dari kata Yunani ‘deon ’, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika
deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
ETIKA BISNIS – STIE BUDDHI
WANTO - 2010